Foto: Logo BI (CNBC Indonesia/Muhammad Luthfi Rahman)
Ekonomi dunia masih dipenuhi ketidakpastian dan terus mengalir dalam mencari keseimbangan barunya. Gonjang-ganjing perekonomian global dan regional membuat
pelaku usaha terus waspada.
Isu geopolitik masih menjadi topik hangat, khususnya konflik di Ukraina dan titik api baru di Taiwan. Ekonomi Indonesia berpotensi menghadapi berbagai efek rambatan dari isu geopolitik tersebut.
Letak geografis dan hubungan dagang (ekspor-impor) dengan negara-negara yang terlibat konflik menjadi isu utama. Kompleksitas tersebut perlu dikaji secara komprehensif oleh otoritas terkait agar respons kebijakan tepat sasaran dan mampu memberi daya ungkit dalam perekonomian.
Artikel ini membahas isu ekonomi terkini dari perspektif global dan regional, termasuk tantangannya. Beberapa respons kebijakan Bank Indonesia (BI) untuk meredam turbulensi ekonomi dielaborasi pada bagian tersendiri. Penulis mengambil fokus kajian dari sudut pandang moneter.
Ekonomi Terkini
Perekonomian global hingga awal Agustus 2023 masih menghadapi turbulensi tinggi. Hal ini sedikit berbeda dengan kondisi ekonomi Indonesia.
Hingga hari ini, para ekonom masih sepakat kalau fundamental ekonomi kita masih kokoh. Prediksi beberapa lembaga internasional seperti Bank Dunia dan IMF juga mengonfirmasi hal tersebut.
Pertumbuhan Indonesia masih diramal tumbuh pada kisaran lima persenan hingga 2024. Bandingkan dengan ekonomi dunia yang tahun ini hanya diprediksi tumbuh di kisaran dua persenan.
Data lain menunjukkan jika dalam dua tahun (sejak Pandemi Covid-19), Indonesia berhasil kembali menjadi negara berpenghasilan menengah atas (upper middle income). Sangat cepat, namun relatif rentan jika krisis kembali menyerang.
Pengalaman Covid-19 mengajari kita bahwa krisis ekonomi tidak hanya dipicu oleh faktor keuangan saja, namun juga nonkeuangan. Ingat, turbulensi ekonomi masih berlanjut.
Ketika pelaku usaha mulai optimis pada akhir 2021 (saat Covid-19 mulai reda), di awal 2022 justru ekonomi dunia kembali diuji. Konflik terbuka Rusia-Ukraina yang melibatkan NATO tak kalah ngerinya dibanding Covid-19.
Sebut saja ketimpangan rantai pasok global di sektor energi dan pangan di awal perang yang memicu krisis dan inflasi tinggi. Isu pangan yang mulai sedikit melandai tampaknya akan kembali bergejolak.
Banyak pemicu. Mulai dari India yang memberlakukan larangan ekspor gandum dan beras hingga Rusia yang membatalkan kesepakatan laut hitam pascaserangan Jembatan Krimea bulan lalu.
Tentu ini berpotensi membuat suplai beras, gandum, dan biji-bijian dunia kembali timpang. Jika ini berlanjut, potensi krisis pangan akan meningkat dan inflasi akan kembali meninggi, khususnya kelompok bahan makanan (volatile food).
Seperti biasa, moneter ketat akan kembali dimainkan bank-bank sentral di dunia. Jika ini terulang, sudah dipastikan, ekonomi dunia akan semakin melambat. Tentu ini perlu dimitigasi oleh Indonesia.
Beranjak ke Amerika Serikat (AS), Eropa, Jepang, dan Tiongkok. Data konsumsi di AS dan Eropa akhir-akhir ini tampak sedikit membaik.
Peningkatan konsumsi rumah tangga, perbaikan tingkat upah, dan tingkat keyakinan konsumen menjadi indikator utama. Pertumbuhan ekonomi Jepang juga diprediksi cukup kuat dengan adanya perbaikan di sisi ekspor dan konsumsi rumah tangga.
Sementara itu, Tiongkok yang sebelumnya diharapkan menjadi pendorong pertumbuhan kawasan justru menunjukkan pertumbuhan yang sedikit melemah. Tertahannya konsumsi dan investasi sektor properti tampaknya cukup berkontribusi pada ekonomi tirai bambu.
Masih dari Tiongkok, perseteruan dengan AS juga kembali memuncak paska perang dagang era Donald Trump. Perseteruan terbaru terkait perang microchip ikut menyeret Jepang dan Belanda.
Di samping itu, titik api baru di Taiwan tampaknya juga membesar, dan jika terbakar, tentu akan menambah masalah baru bagi Indonesia.
Beranjak ke sisi Inflasi. Data inflasi dunia secara rerata mulai membaik. Tekanan yang kuat memang masih dialami sejumlah negara maju sehingga era kebijakan moneter ketat sepertinya belum akan selesai.
Guna mengendalikan inflasi, The Fed (Bank Sentral AS) hingga akhir tahun 2023 kelihatannya masih membuka ruang untuk kembali menaikkan suku bunga acuannya (Federal Funds Rate/FFR). Saat ini, FFR bertengger di rentang 5,25% – 5,50% (rekor tertinggi selama lebih dari dua dekade).
Meskipun cukup tinggi, kenaikan FFR masih sesuai arah prediksi para ekonom sehingga diyakini hanya menyebabkan kejutan jangka pendek pada perekonomian Indonesia.
Selain FFR, turbulensi keuangan global yang terus berlanjut akan berakibat pada fluktuasi nilai tukar Rupiah dan menekan aliran modal masuk Indonesia. Berbagai kompleksitas permasalahan ekonomi yang diuraikan tersebut menjadi tantangan tersendiri bagi Indonesia.
Tentu ini membutuhkan penguatan respon kebijakan yang akomodatif dan selangkah ke depan. Tujuannya sudah pasti, memitigasi efek rambatan dari turbulensi
ekonomi terkini.
Respons Kebijakan BI
Turbulensi ekonomi membutuhkan campur tangan Bank Indonesia. Mengapa? Karena BI sebagai otoritas yang bertanggung jawab menciptakan stabilitas di bidang moneter.
Otoritas ini punya andil besar dalam membuat respon kebijakan yang cepat dan tepat untuk mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.
Rapat Dewan Gubernur (RDG) BI pada tanggal 24-25 Juli 2023 telah memutuskan untuk mempertahankan BI 7-Day Reverse Repo Rate (BI7DRR) pada angka 5,75%. Selain itu, suku bunga Deposit Facility dan suku bunga Lending Facility juga ditetapkan masing-masing sebesar 5,00% dan 6,50%.
BI menjelaskan bahwa kebijakan tersebut diambil sebagai salah satu langkah untuk memastikan inflasi tetap terkendali dalam rentang 3,0 ± 1% pada semester II tahun 2023 dan 2,5 ± 1% pada tahun 2024. Pengendalian inflasi di tahun 2024 menunjukkan kebijakan BI tidak hanya diformulasi untuk kondisi saat ini, tetapi juga
memikirkan kompleksitas ke depan.
Berikut elaborasi dari berbagai kebijakan Bank Indonesia yang ditujukan untuk merespons turbulensi ekonomi dan mendukung pertumbuhan. Inflasi barang impor (imported inflation) masih menjadi isu penting sehingga penguatan stabilitas nilai tukar Rupiah tetap diarahkan BI untuk mengendalikan jenis inflasi ini.
BI tampaknya juga melanjutkan pelonggaran kebijakan likuiditas dan makroprudensialnya untuk mendorong penyaluran kredit. Akselerasi digitalisasi melalui sistem pembayaran digital berbasis kode QR (QRIS) terus disempurnakan guna memperkuat inklusi ekonomi dan keuangan digital.
Fitur QRIS ditambah (misal: Tuntas‒Tarik Tunai, Transfer, dan Setor) dan transaksinya diperluas (misal: QRIS antarnegara).
Penguatan stabilitas nilai tukar Rupiah dilakukan melalui dua cara. Pertama, intervensi di pasar valuta asing melalui transaksi spot, Domestic Non-Deliverable Forward (DNDF), dan jual beli Surat Berharga Negara (SBN) di pasar sekunder.
Kedua, melakukan operasi twist, yaitu menjual SBN bertenor jangka pendek di pasar sekunder untuk menarik investor asing.
Penguatan dari sisi makroprudensial dilakukan dengan memberi stimulus insentif likuiditas makroprudensial kepada bank umum konvensional dan syariah yang mulai
diberlakukan pada awal Oktober 2023 ini. Kebijakan peningkatan insentif tersebut difokuskan pada pembiayaan hilirisasi, perumahan, pariwisata, dan keuangan hijau (green financing).
Penyesuaian Giro Wajib Minimum (GWM) juga dilakukan untuk memperkuat kebijakan makroprudensial tersebut.
Penguatan kebijakan digitalisasi sistem pembayaran di bidang keuangan digital juga terus disempurnakan. Kebijakan Merchant Discount Rate (MDR) yang diberlakukan pada pedagang pengguna QRIS segmen usaha mikro diatur secara progresif.
MDR merupakan biaya yang dikenakan kepada pedagang oleh Penyedia Jasa Pembayaran (PJP). Menurut BI, MDR ditujukan untuk menjaga keberlanjutan (sustainability) penyelenggaraan layanan transaksi pembayaran.
Tarif MDR untuk transaksi hingga Rp100.000 diberlakukan MDR 0%, sementara di atas Rp100.000 hanya dikenakan 0,3%. Tarif ini lebih rendah jika dibandingkan dengan MDR negara lain, seperti Tiongkok yang sekitar setengah persenan, atau MDR provider kartu kredit asing yang berkisar dua hingga tiga persenan.
Kebijakan BI juga tersinergi dalam KSSK (Komite Stabilitas Sistem Keuangan‒Kemekeu, BI, OJK, dan LPS), Pemerintah Pusat, Daerah, dan Mitra-Mitra Strategis. Misalnya, koordinasi dalam TPIP dan TPID (Tim Pengendalian Inflasi Pusat dan Daerah), serta Gerakan Nasional Pengendalian Inflasi Pangan (GNPIP) di berbagai daerah yang hasilnya memuaskan.
Koordinasi tersebut ditujukan untuk memastikan inflasi tetap terkendali pada jalur terbaik. Data BPS menunjukkan inflasi Juli 2023 sebesar 3,08% (yoy), angka ini konsisten dengan target inflasi BI di kisaran 3,0% ± 1%.
Kebijakan BI dalam memengaruhi devisa hasil ekspor sumber daya alam (DHE SDA) juga diarahkan sejalan dengan pengaturan dalam PP No. 36 tahun 2023 tentang DHE SDA, termasuk jenis instrumen yang diperbolehkan.
Ketentuan mengenai instrumen penempatan DHE SDA pada sistem keuangan Indonesia tersebut tetap diarahkan pada pemanfaatan kebutuhan di dalam negeri. Implementasi kebijakan ini tentu berpotensi meningkatkan cadangan devisa kita.
Terakhir. Kajian ini menunjukkan bahwa http://kolechai.com/ situasi ekonomi dunia memang sedang tidak baik- baik saja. Meskipun fundamental Indonesia cukup perkasa untuk saat ini, bukan berarti otoritas terkait bisa berpangku tangan.
Rasa percaya diri yang berlebihan terkadang justru berbahaya. Indonesia masih menghadapi banyak tantangan. Sebut saja aturan anti deforestasi yang menargetkan produk CPO serta reaksi negatif dari sejumlah negara yang terkena dampak kebijakan hilirisasi kita.
Masih perlu kerja keras dan kerja cerdas untuk hal ini. Apapun itu, kita patut optimis dan bangga dengan capaian hari ini.
Memang belum sempurna, namun sudah semakin membaik. Bauran kebijakan moneter, makroprudensial, dan sistem pembayaran yang diformulasi secara matang diharapkan mampu mendukung pertumbuhan ekonomi Indonesia yang berkelanjutan.
Setelah ini, kita akan melompat lebih tinggi dengan dukungan bonus demografi hingga 15 tahun ke depan. Semoga.