Foto: Bandar Udara Internasional Jawa Barat Kertajati (Ist)
Beberapa waktu lalu, media memberitakan bahwa Bandara Kertajati akan dioperasikan sebagai pintu masuk luar negeri untuk provinsi Jawa Barat. Kenapa saya menyoroti bandara tersebut? Ini karena bandara tersebut penuh kontroversi.
Mungkin tidak satu pun pengamat atau wakil rakyat di Jakarta maupun di Jabar, bahkan pengamat kebijakan publik, tidak satupun yang memberikan suara positif tentang dibangunnya Bandara Kertajati. Bandara yang dibangun dengan menggunakan APBD itu menyerap anggaran sekitar Rp 7 triliun.
Sebelum ke masalah teknis, mungkin kita sedikit flashback ke belakang. Pembangunan bandara di Indonesia karena faktor kelebihan kapasitas penumpang.
Terdapat tiga bandara yang bisa menjadi sampel model bandara Indonesia yang tidak well planed. Artinya dibangun karena kondisi yang sudah sangat terdesak lantaran kelebihan kapasitas penumpang dibandingkan dengan runway hingga terminal yang ada.
Sebagai contoh Bandara Adisucipto di Yogyakarta, sebelum dipindah ke Kulonprogo (Yogyakarta International Airport). Bandara itu dipindahkan karena sudah kelebihan kapasitas penumpang dibandingkan daya tampung terminalnya (Sekitar 300% atau tiga kali lipat). Otomatis hal tersebut berimbas kepada traffic penumpang yang datang dan masuk via Adisucipto yang sebelum dipindah itu sangat sibuk.
Saya mungkin salah satu saksi hidup yang sering mengalami holding pada waktu landing dari Jakarta maupun pada waktu take off ke Jakarta. Saya pernah menjadi dosen ‘terbang’ di UGM selama 5 tahun.
Oleh karena itu, hampir tiap minggu atau dua minggu sekali saya memakai jasa penerbangan ke Yogyakarta. Saat penerbangan masih harus melalui Bandara Adisucipto, hampir pasti ATC pilot sudah diumumkan untuk holding di atas wilayah Wates.
Holding artinya pesawat harus berputar-putar masuk daftar antrean. Sering saya menghitung pesawat yang saya naiki, ketika hendak landing harus holding giliran mendarat nomor lima atau enam.
Bisa kita bayangkan holding bisa memakan waktu 15 menit hingga 30 menit. Ada biaya juga untuk fuel burn atau konsumsi bahan bakar yang dibuang.
Karena dia akan putar-putar menghabiskan antrean demi memperoleh giliran landing di Bandara Adisucipto. Bahkan bukan hanya nomor dua atau tiga, sering mendapat nomor atau enam karena sering saya hitung.
Sebagai pengamat penerbangan, saya memiliki kemampuan untuk menghitung holding ini. Itu yang tidak pernah diprediksi oleh analis-analis penerbangan atau kebijakan kebijakan publik, terkait fuel burn sia-sia.
Belum lagi kerugian imaterial. Karena bagi pebisnis jika janji dengan rekan pebisnis untuk bertemu di kota misalnya Medan, Yogyakarta, dan lain-lain.
Ada lagi masalah lain. Waktu itu, saya sudah masuk ke pesawat untuk perjalanan dari Yogyakarta ke Jakarta, namun pesawat tak kunjung take off. Kemudian pilot mengumumkan kalau ATC menginformasikan terjadi antrean masuk ke Bandara Internasional Soekarno-Hatta. Untuk itu, pesawat harus holding di atas Kota Tasikmalaya. Antrean pun mulai terjadi di sana. Belum lagi di Soetta juga terpaksa holding.
Dari pada buang-buang avtur karena holding, jadi disarankan pesawat di-hold di Adisucipto. Saya dan penumpang-penumpang lain dalam posisi sudah masuk ke dalam pesawat.
Sebagai konsultan aviasi, saya pernah mengadakan riset. Kalkulasi saya, avtur yang dibuang pada tahun 2012 dengan kurs Rp 12.000/US$, harga avtur dunia itu masih sekitar US$ 50 per barel, bahan bakar avtur yang dibuang di udara dalam setahun pada saat mau landing itu membuang uang avtur Rp 200 miliar.
Itu yang luput dari masyarakat awam, pemerhati kebijakan publik, yang tidak pernah dihitung. Mereka hanya menghitung bila bandara itu sepi.
Ketika Bandara Adisucipto dipindah ke Kulonprogo, banyak suara-suara minor tentang YIA. Lokasi bandara yang terletak di tepi Samudera Hindia hingga ancaman gelombang tsunami dikhawatirkan merusak runway.
Ada juga kekhawatiran perihal angin tepi laut sehingga mengakibatkan pesawati berisiko seperti head wind dan tail wind yang sangat kuat. Terkait YIA, saya banyak berdiskusi dengan tim konsultan yang melibatkan Pusat Transportasi dan Logistik Universitas Gadjah Mada.
Saya kenal baik dengan salah satu dosen yang bercerita kalau dia terlibat sebagai konsultan dan menurut saya sih oke-oke saja. Saya sangat sayangkan suara-suara minor perihal YIA itu justru datang dari tokoh-tokoh penerbangan.
Setiap pembangunan bandara baru itu pasti banyak yang pro dan kontra. YIA itu oke-oke saja selama tidak ada kendala teknis.
Justru kendala teknisnya itu ada di transportasi darat dari Kulonprogo ke Yogyakarta karena banyak perbaikan jalan darat. Tercatat ada tiga perbaikan jalan darat yang terjadi saat ini yang mengganggu orang pulang naik mobil atau bus via jalan darat, bukan di bandaranya. Itu masalah yang di Yogyakarta, masalah yang tidak diperhitungkan.
Pada saat pandemi Covid-19, banyak bandara yang baru diresmikan dan memang traffic-nya low. Jadi memang analisis berdasarkan tahun 2021-2022 tentang sepinya bandara itu menurut saya secara analisis teori itu tidak tepat.
Seperti Bandara Polonia, Medan. Mulanya, pembangunannya pun sangat alot karena terkendala pembebasan lahan. Banyak masyarakat yang tidak puas dengan harga yang ditawarkan.
Bandara Kualanamu juga dianggap jauh juga dari Medan, tetapi sekarang sudah ada jalan tol sekitar 30 menit hingga 40 menit. Ya biasalah bandara dibangun di pinggiran kota, tidak dipusat kota.
Dulu Polonia juga dibangun karena urusan kelebihan kapasitas penumpang dan dibangun di tengah kota. Memang bagi masyarakat itu nyaman, akan tetapi Polonia itu seperti Bandara Halim Perdanakusuma yang kepemilikannya adalah TNI AU. Jadi bukan murni punya BUMN, berbeda dengan Kualanamu yang dikelola oleh PT Angkasa Pura I (Persero).
Pembangunan bandara ada dua versi. Pertama, ada yang dibangun mulai dari nol apakah itu runway, terminal, dan pergudangan dibangun bersama seperti YIA dan Polonia Medan.
Kedua, ada yang hanya terminalnya saja yang diperbagus dan diperluas sehingga nyaman, yaitu Bandara Juanda dan Bandara Ahmad Yani Semarang. Bandara Juanda dimiliki oleh TNI AL, tetapi selama ini tidak pernah ada masalah.
Bandara Juanda itu memiliki dua terminal di mana terminal baru itu adalah terminal 2, khusus domestik dan memang bagus. Lalu ada juga terminal 1 yang lama, runway-nya tidak ditambah karena Bandara Juanda itu runway-nya selama ini masih menampung dan mempunyai kapasitas untuk pesawat jumbo jet 747-400 yang lama atau Airbus 330 itu bisa masuk dan sebagai embarkasi haji Surabaya.
Jadi terminalnya itu dipisah terminal 1 yang lama untuk penerbangan internasional ada Garuda Indonesia, AirAsia, Tiger Airways dan lainnya. Terminal 2 itu untuk domestik termasuk Garuda Indonesia, Citilink, dan maskapai lainnya.
Terminal yang diperbarui dengan bagus itu adalah Bandara Ahmad Yani di Semarang. Saya juga pernah mencoba terminal baru Bandara Ahmad Yani yang mana memang nyaman seperti di terminal 2 Bandara Juanda.
Bandara Ahmad Yani juga tidak ada masalah dari segi runway, traffic, dan kenyamanan penumpang. Lalu ada lain lagi di Makassar, Bandara Ujung Pandang yang juga dipermegah terminalnya.
Awalnya bandara itu juga sepi. Saya mulai terbang ke sana dari sepi sampai sekarang sudah ramai, penuh sesak. Maklum pembangunan di Indonesia TImur 10 tahun terakhir itu memang terkonsentrasi ke sana.
Apakah bandara itu harus dibangun di tengah kota? Ya kalau pengalaman saya landing di dua bandara yang runway-nya malah dibangun di atas laut seperti Bandara Haneda Jepang. Runway-nya sebagian dibangun di atas tepian laut dan itu tidak masalah seperti yang dikhawatirkan di YIA. Padahal Jepang itu adalah negara yang rawan bencana.
Lalu kedua adalah bandara baru Chek Lap Kok, Hongkong yang dibangun di tepian garis pantai Hongkong. Karena negaranya sangat kecil sehingga bandara yang baru itu menggantikan bandara Kai Tak.
Bandara Kai Tak itu adalah bandara dengan tingkat kesulitan yang tinggi karena diapit oleh gedung-gedung pencakar langit. Chek Lap Kok yang ada di pinggir pantai, selama 20 tahun tidak ada masalah. Sejauh ini tidak ada ancaman tsunami, heavy turbin hingga head wind. Bahkan pilot lebih senang dengan bandara yang sekarang karena tingkat kesulitannya tidak tinggi seperti di Chek Lap Kok.
Kembali ke Bandara Kertajati, saya dua kali survei pada waktu progres pembangunan masih 35%. Jadi saya survei ke lapangan langsung dengan status sebagai anggota Asosiasi Pelaku Pariwisata Indonesia (ASPPI).
Waktu itu kami pernah mengadakan travel mart di Cirebon dan kita mengunjungi Bandara Kertajati. Yang kedua kalinya pada waktu saya mengajar di SMK Penerbangan Kabupaten Kuningan di mana saya juga melakukan kunjungan ke bandara tersebut.
Jadi, Bandara Kertajati ini dibangun bukan di tepi laut, melainkan tanah lapang. Pembebasan tanah kosong yang luas ya mungkin kalau dianalogikan seperti bandara-bandara yang dibangun di atas gurun di Amerika Serikat. Tidak ada obstacle sama sekali.
Justru dari segi teknik take off dan landing pilot itu menyenangkan mereka. Sebab, tidak ada gedung pencakar langit, tidak sering terjadi bencana alam seperti angin.
Bandara Kertajati dari segi teknis bagus. Hanya saja bandara itu memang dibangun tidak paralel dengan aksesibilitas jalan darat.
Jadi dari Bandung ke Majalengka ini jalan daratnya tidak mulus karena pembebasan jalan tol memang ada masalah. Sehingga lambat dan baru jadi beberapa tahun setelah Bandara Kertajati diresmikan.
Yang kedua adalah bandara Bandung sendiri, Husein Sastranegara, yang masih dioperasikan. Bandara itu juga milik TNI AU dan kelemahan bandara Husein Sastranegara adalah tipikal topografi Kota Bandung.
Cuacanya juga sering hujan jadi obstacle-nya tinggi. Kemudian runway itu tidak dapat diperpanjang lagi karena ada masalah di tengah kota.
Bandara Husein Sastranegara juga diapit sedikit bukit. Jadi memang tidak ideal. Hanya pesawat narrow body yang bisa landing di sana, tidak bisa pesawat wide body.
Berbeda dengan Bandara Kertajati yang mana pesawat jumbo jet maupun Airbus 330 masih bisa landing. Kalaupun masih ada pesawat Boeing 747-400 juga masih bisa landing.
Mungkin juga ada dukungan juga di Bandara Kertajati dengan sudah diresmikannya Pelabuhan Patimban, Subang. Nantinya hasil laut dari Laut Jawa itu akan ditarik ke Kertajati dan diekspor keluar negeri. Ada penghasilan tambahan dari kargo marine product. Bandara Kertajati juga dikonsentrasikan untuk salah satu pusat (maintenance, repair, dan overhaul/MRO).
Memang untuk Bandara Kertajati ini memang orang harus bersabar karena akses jalan yang tidak paralel plus bandara Husein Sastranegara juga masih dioperasikan. Terkadang masyarakat Bandung sebagai pengguna terbanyak masih suka memakai bandara Husein Sastranegara.
Tapi bandara itu pun sekarang penerbangannya terbatas, tidak banyak. Menurut pemberitaan, ada semacam deklerasi pintu internasional itu nantinya melalui Bandara Kertajati.
Kalau dibandingkan masyarakat Bandung yang harus ke Soetta juga, lebih baik ke Bandara Kertajati. Kalau misalnya Tol Cisumdawu sudah mulus dan LRT dari Bandung ke Kertajati itu sudah jadi, ya menurut saya kalkulasinya lebih cepat ke Bandara Kertajati.
Bandara Kertajati ini tidak hanya http://tampansamping.com/ menampung penumpang asal Bandung. Di sekitarnya ada kabupaten-kabupaten yang perlu akses untuk naik pesawat, misalnya dari Kabupaten Cirebon, Kuningan, Sumedang, Tasikmalaya, Ciamis, lebih mudah masuk melalui Kertajati untuk melakukan perjalanan misalnya ke seluruh Indonesia atau ke beberapa negara ASEAN.
Kota-kota itu juga sebagai penghasil UMKM yang berorientasi ekspor, misalnya batik Trusmi di Cirebon hingga kerajinan bordir dari Tasikmalaya. Perlu dipikirkan Jabar itu tidak hanya Bandung, masih ada kabupaten Bandung Barat dan kabupaten-kabupaten yang ada di Pantura seperti Indramayu, Cirebon, dan Kuningan jelas lebih mudah ke Kertajati dari pada ke Soetta.
Saya tetap optimistis mengenai masa depan Bandara Kertajati. Ya memang orang harus bersabar, memang untuk mengembalikan dana Rp 7 triliun dalam 2-3 tahun itu agak sulit.
Tapi pesannya adalah jangan membangun bandara itu kalau sudah kapasitas penumpang sudah berlebihan. Sebab karena bagaimanapun, kalau kapasitas bandara sudah meledak, sebenarnya ada hidden cost yang terbuang dan tidak pernah dihitung oleh masyarakat atau pengamat. Misalnya fuel burn karena holding atau ketika berjalan menuju runway untuk take off.