Narasi, Relasi, dan Memenangkan Wacana Publik

Petugas berjaga di Pilkada. (AP/Tatan Syuflana) 

Foto: Ilustrasi pemilu (AP/Tatan Syuflana)

Si A dinilai sebagai sosok prorakyat kecil. Ia senang datang ke kantung-kantung masyarakat miskin sambil tak lupa membawa para peliput untuk dipublikasikan kegiatannya di media.


Si B dianggap sebagai sosok otoriter dan dicitrakan gemar menghalalkan berbagai macam cara untuk menggapai kuasa. Lalu si C disuarakan sebagai pribadi yang gemar bersolek kata-kata tapi dituding nihil hasil kerja nyata.

Citra tiga kepribadian semacam itu menjadi narasi yang kerap menghiasi percakapan di ruang publik saat sekarang. Konteksnya untuk memenangkan hati publik yang tengah gegap gempita menyambut pemilihan pemimpin di sebuah negeri yang banyak dihuni para penipu, makelar maupun pencuri uang rakyatnya.

Ketiga citra satire yang ditampilkan itu akan bisa menjadi wacana jika narasi yang dibangun hanya sebatas di ruang hampa. Kehampaan itu muncul jika relasi yang dijalin hanya bersifat artifisial, tak membumi.

Bukan rahasia umum lagi, begitu banyak orang yang belakangan ini menjadi pribadi yang mencitrakan dirinya sebagai calon pemimpin peduli. Mereka tak malu dan sungkan mengklaim diri sebagai orang baik meski kebaikan nyata tak pernah terlihat dari kesehariannya.

Contoh itu tampak nyata di dunia politik. Banyak tokoh politik kita yang bisa menyunggingkan senyuman tapi sedetik kemudian dapat berubah ekspresi dengan berwajah jengkel dan marah.

Bahkan, ada juga petinggi negara yang datang ke hamparan sawah dengan memakai sarung tangan plus jas hujan lengkap dengan sepatu boots. Kemudian ada juga yang bicara kemiskinan tapi lebih senang membahasnya di tempat-tempat mewah.

Inilah anomali dari narasi dan relasi yang hanya dibangun sebatas wacana dan citra. Di negara dengan indeks ketimpangan kemiskinan yang masih tinggi serta kualitas pendidikan warganya yang rendah maka anomali tadi akan menjadi abadi.

Jalan untuk menjadi pemimpin semacam itu tak perlu lagi harus dibangun melalui ikhtiar panjang bersama para warganya. Di tengah ekosistem yang sudah anomali tadi, mereka lebih mengandalkan kekuatan logistik berupa lembaran-lembaran uang kertas tanpa batas. Uang itulah yang kemudian berkuasa untuk menentukan kebenaran dan kebaikan citra yang hendak dibentuk.

Masyarakat pun menjadi hilang akal sehatnya dalam menentukan pilihan. Di tengah kemiskinan yang membelit, sodoran lembaran uang kertas menjadi solusi jangka pendek bagi yang memilih. Bahkan secara ironis, kesulitan hidup yang dialaminya tak harus lagi diperdebatkan.

Sudah banyak contohnya. Di sejumlah tempat kita kerap menemukan orang-orang yang hidup susah tapi tetap bahagia meski kebutuhan dasar hidupnya semakin sulit dari sebelumnya.

Bagi mereka, kesulitan yang tercipta itu karena sisa-sisa dari penguasa terdahulu yang tak berpihak pada mereka. Padahal pembangunan dijalankan secara masif itu lebih dirasakan manfaatnya oleh para kaum elite dan kelompok menengah perkotaan saja.

Inilah kekuatan narasi fatamorgana yang diperkuat melalui dengungan para elite penguasa. Para pemimpin itu telah menggunakan kuasanya untuk mengelola dan mengontrol narasi publik. Andai ada narasi negatif di ruang publik maka dibunuhlah karakternya dengan dengungan yang menghancurkannya hingga masuk ke ranah private.

Narasi yang muncul menjadi tampak tunggal dan termonopoli oleh kebaikan semu. Demokrasi hanya menjadi hiasan kata. Kebijakan populis menjadi sekadar jargon belaka. Hukum pun menjadi barang dagangan bagi yang berkuasa. Yang memimpin adalah para pemilik modal yang dekat dengan para penguasa.

Lantas bagaimana memupuskan fatamorgana citra tadi? Setidaknya ada dua pilihan; revolusioner atau bertahap. Pilihan revolusioner tentunya akan menimbulkan resistensi besar, khususnya dari penguasa yang didukung dengan kekuatan modal.

Pilihan revolusioner di sini bukan diartikan melalukan aksi massa untuk melawan citra semu tadi. Aksi revolusioner yang bisa dilakukan adalah berkampanye secara frontal melawan narasi fatamorgana. Tentunya cara ini seperti mendaki puncak gunung tinggi yang mengharuskan kekuatan dan nafas panjang untuk menaklukkannya.

Sementara, pendekatan http://surinamecop.com/ bertahap dilakukan dengan menyadarkan publik untuk bersikap kritis terhadap narasi fatamorgana. Kedua pendekatan ini tentunya harus melewati jalan berliku dan panjang.

Dalam pendekatan bertahap ini, kunci keberhasilannya adalah memperkuat circle terkecil yang dibangun lewat keluarga maupun lingkungan tempat tinggal. Caranya dengan berbuat nyata untuk kebaikan, bukan sekadar pencitraan. Kebaikan yang dilakukan dimulai dari berbuat hal kecil yang dilakukan secara konsisten.

Dari sinilah kelak terlahir buah relasi antara calon pemimpin dan warga yang benar-benar bernarasi baik. Artinya, narasi baik yang muncul itu bukanlah produk dari citra fatamorgana, melainkan hasil kerja keras berbuah citra baik yang nyata.

Semua itu hanya bisa tercapai jika kita yang memulainya, bukan mereka! Jadi sudah siapkah kita?

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*