Foto: Ilustrasi UMKM (Aristya Rahadian/CNBC Indonesia)
Bergulirnya reformasi di bidang keuangan negara pada tahun 2003 merupakan sebuah milestone sejarah bangsa dalam rangka mengelola keuangan negara dengan menggunakan regulasi yang dibuat oleh anak bangsa sendiri. Terdapat tiga UU yang terbit hampir bersamaan dalam jarak yang tidak terlalu lama, yakni Undang-Undang Nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara serta Undang-undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara, bangsa Indonesia memasuki babak baru dalam mengelola keuangan negara.
Salah satu yang diamanatkan dari paket regulasi Undang-Undang Keuangan Negara tersebut adalah reformasi pengelolaan kas negara, yakni menuntut modernisasi pengelolaan kas negara harus segera dijalankan.
Kemudian di tahun 2014, Bank Indonesia (BI) sebagai otoritas moneter di Indonesia mengembangkan sebuah konsep pembayaran dengan berupaya mengurangi peran uang tunai dalam setiap transaksi yang dilakukan oleh masyarakat yang kemudian dikenal sebagai Gerakan Nasional Non Tunai (GNNT) atau cashless society. Konsep tersebut kemudian diadopsi dalam rangka transaksi dana APBN, sehingga setiap transaksi pemerintah diarahkan untuk dilakukan secara cashless.
Pada pertengahan tahun 2018, sebagai salah satu upaya mengadopsi cashless society tersebut, pemerintah dalam hal ini Kementerian Keuangan kembali mengeluarkan sebuah paket regulasi berupa Peraturan Menteri Keuangan nomor 196/PMK.05/2018 tentang Tata Cara Pembayaran dan Penggunaan Kartu Kredit Pemerintah. PMK tersebut mengatur tentang bagaimana cashless society dalam rangka transaksi APBN dilaksanakan, yakni dengan memperkenalkan Kartu Kredit Pemerintah. Dengan Kartu Kredit Pemerintah, transaksi transaksi belanja APBN tidak lagi menggunakan uang tunai, sehingga berbagai manfaat efisiensi bisa didapatkan.
Tidak berhenti sampai di situ, kebijakan cashless society dalam rangka modernisasi pengelolaan kas dilanjutkan dengan melakukan restrukturisasi rekening. Melalui PMK Nomor 183/PMK.05/2019 tentang Pengelolaan Rekening Pengeluaran Milik Kementerian Negara/Lembaga, pemerintah mengarahkan bahwa rekening pengeluaran pada satuan kerja perlu dilakukan restrukturisasi dari rekening giro ke rekening virtual (virtual account).
Hal itu diharapkan akan dapat mendorong simplifikasi, efisiensi, dan efektivitas satuan kerja dalam pelaksanaan APBN karena dengan adanya rekening virtual, jumlah rekening induk cukup dibuka pada K/L induknya saja, sehingga jumlahnya akan sangat jauh berkurang. Dengan jumlah rekening induk yang sedikit, tentu lebih mudah dikelola dan diawasi kegiatannya.
Sejalan dengan kebijakan pemerintah yang merupakan bagian dari upaya menciptakan lapangan kerja sebagai salah satu implementasi Undang-Undang Cipta Kerja adalah Pemberdayaan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah yang kita kenal sebagai UMKM, pemerintah dengan Program Bangga Buatan Indonesia (PBBI), ingin menjadikan UMKM sebagai bagian yang harus berperan dalam rangka proses pengadaan barang dan jasa pemerintah melalui ekosistem digitalisasi.
Menjawab tantangan dan kebutuhan tersebut, Kementerian Keuangan dalam hal ini Direktorat Jenderal Perbendaharaan dengan pengembangan Kartu Kredit Pemerintah serta virtual account mengeluarkan sebuah kebijakan baru berupa Digital Payment Marketplace atau selanjutnya disebut DigiPay yang dituangkan dalam Peraturan Direktur Jenderal Perbendaharaan nomor PER-20/PB/2019 tentang Uji Coba Penggunaan Uang Persediaan Melalui Sistem Marketplace dan Digital Payment Pada Satuan Kerja.
DigiPay merupakan sistem aplikasi pembayaran digital yang dikembangkan oleh Kementerian Keuangan dan didukung oleh Himbara, di mana aplikasi itu mengintegrasikan satker pengguna APBN, UMKM sebagai penyedia barang/jasa/vendor, dan perbankan dalam suatu hubungan timbal balik yang tak terpisahkan. DigiPay yang di kembangkan oleh Himbara ini antara lain adalah DigiPay002 untuk Bank BRI; DigiPay008 untuk Bank Mandiri; dan DigiPay009 untuk Bank BNI.
DigiPay sebagai inovasi belanja pemerintah dengan uang persediaan yang bergerak ke arah modernisasi secara cashless merupakan terobosan baru yang dikembangkan oleh pemerintah, khususnya Direktorat Jenderal Perbendaharaan untuk mewadahi pengadaan barang/jasa secara daring dengan sistem pembayaran menggunakan transaksi tunai ke non tunai, transaksi fisik ke teller bank menjadi transaksi electronic banking, paper based reporting ke digital reporting, dan sistem informasi luring ke sistem informasi daring terintegrasi.
Implementasi DigiPay yang berlangsung sejak 2019 ini telah berjalan dengan baik dan akan senantiasa melakukan pembaharuan sesuai dengan perkembangan zaman. Hal tersebut terbukti dengan terpilihnya DigiPay dalam Top Inovasi Pelayanan Publik Terpuji Tahun 2022 yang diumumkan oleh Deputi Bidang Pelayanan Publik Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dalam acara Pengumuman Top Inovasi Pelayanan Publik (KIPP) Tahun 2022 dengan predikat TOP 45 sebagai “Platform Integrasi Belanja Pemerintah melalui Digipay: Pemberdayaan UMKM dan Bangga Produk Indonesia”.
Presiden Joko Widodo dalam kesempatan membuka Rakornas Transformasi Digital dan Pendataan Lengkap Koperasi dan UMKM Tahun 2022 secara virtual dari Istana Negara, menginginkan para pelaku UMKM dan juga koperasi dapat membanjiri marketplace atau pangsa pasar dengan produk buatan dalam negeri. Kepala Negara juga menargetkan jumlah pelaku UMKM yang masuk ke dalam ekosistem digital dapat mencapai 20 juta pada tahun 2022 dan terus meningkat pada tahun-tahun berikutnya.
Sejalan di atas, maka pengembangan DigiPay mempunyai tujuan strategis antara lain untuk mendorong transaksi non-tunai dalam penggunaan uang persediaan, menyediakan sistem pembayaran pemerintah yang efisien dan efektif, mendukung efisiensi pengelolaan keuangan negara serta meningkatkan pengelolaan kas negara.
Secara umum, manfaat DigiPay antara lain transaksi menjadi aman karena terhindar dari risiko pencurian dan mendapat uang palsu serta transparan karena pencatatan transaksi non tunai sudah otomatis tercatat secara detail di sistem sehingga memudahkan dalam penghitungan pajak serta dalam penyiapan dokumen bukti pertanggungjawabannya. Poin penting yang harus dicatat juga adalah Digipay melengkapi gap yang tidak difasilitasi marketplace populer milik swasta lainnya, mengubah mindset pengadaan barang dan jasa dari konvensional ke digital pun juga dengan cara pembayarannya.
Digipay sebagai marketplace resmi Kementerian Keuangan juga memiliki keunggulan dibandingkan dengan marketplace populer milik swasta yang sudah banyak dikenal. Keunggulan itu antara lain dari sisi term of payment, di mana pada marketplace swasta transaksi diproses penjual setelah pembeli menyelesaikan pembayaran, sedangkan pada DigiPay pembayaran dilakukan setelah barang diterima.
Hal ini sesuai dengan amanah Undang-Undang Perbendaharaan Negara yang menjamin keamanan dan kepastian pembayaran dalam pengadaan barang dan jasa. Dari sisi perpajakan, pada marketplace swasta, perhitungan dan pembayaran pajak tidak atau belum difasilitasi oleh platform, sedangkan di DigiPay perhitungan dan pembayaran pajak telah difasilitasi oleh platform. Kemudian, yang terpenting sebagai bentuk kepedulian pemerintah dalam pemberdayaan UMKM yaitu dari sisi afirmasi UMKM, pada marketplace swasta, vendor yang terdaftar tidak wajib UMKM dan produk lokal (dalam negeri), namun pada DigiPay hanya memfasilitasi UMKM dan produk lokal (dalam negeri).
Adapun syarat UMKM bisa bergabung sebagai vendor atau penyedia barang dan jasa di DigiPay cukuplah mudah dan sederhana, antara lain harus memiliki data Nomor Induk Kependudukan (NIK), data bank berupa rekening giro/rekening tabungan di bank, NPWP, Surat Ijin Usaha seperti SIUP apabila tidak ada dapat menggunakan surat izin dari RT/RW/Kelurahan setempat, dan bersedia mengunggah dan memperbarui katalog produk secara berkala yang berisi deskripsi dan harga produk .
Dengan bergabung di DigiPay, akan banyak manfaat yang diperoleh UMKM. Pelaku UMKM akan mendapatkan kepastian pembayaran dengan tersedianya fasilitas scheduled payment di sistem, peluang menjadi rekanan di banyak instansi pemerintah (open and free marketing) dan apabila portofolio UMKM tersebut baik maka akan semakin terbuka untuk mendapatkan pembiayaan dari perbankan (bank lending facility).
Secara nasional, sampai dengan triwulan III 2022, terdapat 2.987 UMKM yang terdaftar sebagai vendor dan telah menyelesaikan 21.018 transaksi pengadaan barang dan jasa dengan nilai transaksi sebesar Rp 41,6 miliar. Berdasarkan nilai transaksi, nilai transaksi tertinggi di Pulau Bali dan Nusa Tenggara dengan nilai transaksi sebesar Rp 11,6 miliar dan terendah di Pulau Maluku dan Papua dengan nilai transaksi sebesar Rp 1,8 miliar rupiah. Justru di Pulau Jawa dengan potensi perekonomian terbesar hanya menyelesaikan transaksi sebesar Rp 10,9 miliar.
Sedang berdasarkan jumlah http://knalpotbelah.com/ UMKM yang terdaftar sebagai vendor DigiPay, terbanyak di Pulau Jawa dengan 1.105 UMKM terdaftar dan paling sedikit di Pulau Maluku dan Papua dengan 123 UMKM terdaftar, sedangkan Pulau Bali dan Nusa Tenggara yang memiliki nilai transaksi terbesar, terdapat 425 UMKM terdaftar.
Tentunya jumlah UMKM yang terdaftar sebagai vendor di DigiPay sebanyak 2.987 UMKM tersebut bila dibandingkan dengan jumlah UMKM secara nasional yang sudah lebih dari 20 juta UMKM masih sangatlah kecil. Namun di sisi lain, hal ini justru menjadi pasar yang sangat potensial bagi UMKM untuk memasarkan produknya dalam pengadaan barang dan jasa yang didanai oleh APBN.
Untuk mengoptimalkan jumlah UMKM yang terdaftar di DigiPay perlu dilakukan beberapa hal antara lain edukasi terkait proses bisnisnya dan juga edukasi untuk shifting mindset pelaku UMKM agar mau berubah dari kecenderungan transaksi secara konvensional menjadi digital. Diharapkan dengan semakin banyaknya UMKM yang bergabung dan terdaftar di DigiPay, maka roda perekonomian Indonesia yang sebagian ditopang dari transaksi pelaku UMKM akan semakin membaik setelah gempuran pandemi Covid-19 sejak tahun 2019 yang lalu.
Saatnya UMKM bangkit bersama DigiPay!