Foto: The Fed (Dokumentasi Reuters)
Baru saja sebentar menikmati euforia meredanya pandemi Covid-19 di awal 2022, dunia selanjutnya langsung menghadapi tantangan bertubi-tubi. Mulai dari perang di Ukraina, kenaikan bunga Fed yang tajam, friksi perdagangan/teknologi Amerika Serikat-China, eskalasi geopolitik China-Taiwan dan semenanjung Korea, hingga lockdown susulan di China.
Tahun 2023 membawa good dan bad news bagi investor.
The good news
a. Tantangan utama dunia finansial pada 2022, yaitu kenaikan tingkat bunga acuan Bank Sentral AS (The Fed) yang agresif nampaknya sudah kelihatan puncaknya. Meskipun tingkat bunga masih diindikasikan naik oleh The Fed di 2023, namun laju kenaikan akan melambat dibandingkan 2022. Hal ini dapat meningkatkan tingkat kepastian pada dunia usaha dan stabilisasi mata uang global.
b. Pandemi Covid-19 nampaknya sudah terkendali secara global. Lonjakan kasus susulan di China pun tidak menunjukkan kehadiran varian ganas yang baru. Indonesia pun dalam peralihan menuju fase endemi, yang dimulai dengan kebijakan Presiden Joko Widodo mencabut status PPKM secara nasional.
c. Pertumbuhan ekonomi, atau lebih dikenal sebagai GDP growth, Indonesia diprediksikan pada kisaran 4,5%-5.3% di 2023, yang secara relatif cukup tinggi bila dibandingkan dengan negara-negara lain.
The bad news
1). Meskipun laju kenaikan bunga The Fed dapat melambat, The Fed dengan tegas menyatakan konsistensinya memerangi ancaman inflasi, yang alat utamanya adalah dengan menetapkan suku bunga tinggi. Bank Indonesia (BI) juga telah mengindikasikan bahwa suku bunga akan higher for longer.
Hal ini dapat diartikan bahwa kenaikan suku bunga yang kita alami saat ini bukan sekadar shock therapy yang bersifat sementara, di mana kita dapat berharap suku bunga akan segera kembali rendah.
Pernyataan bank sentral-bank sentral tersebut adalah untuk mempersiapkan publik untuk menerima ‘era baru’ dalam dunia moneter, atau lebih tepatnya era normalisasi suku bunga. Investor mungkin sudah terbiasa dengan situasi nyaman suku bunga global mendekati 0% yang dimulai dengan Quantitative Easing (QE) pada tahun 2008.
Namun, the bad news adalah QE itulah yang seharusnya sementara; hanya saja pengakhiran QE itu yang terus ditunda hingga lebih dari satu dekade setelah 2008 yang mungkin menciptakan ilusi bahwa suku bunga ultra rendah adalah kondisi yang normal. Dus, meskipun nantinya ada pelonggaran dari kenaikan suku bunga saat ini, suku bunga ‘new normal’ pun seharusnya tetap lebih tinggi dari periode 2008-2021.
2). Risk-off appetite dari investor dapat lebih dominan daripada risk-on selama 2023, yang berarti minat pada aset berisiko, termasuk pada Indonesia, cenderung tertahan. Risk-off pada Indonesia ini dapat disebabkan oleh:
a. pengetatan likuiditas serentak oleh bank sentral secara global, yang menaikkan biaya modal untuk berinvestasi
b. pasar modal lain turun banyak pada tahun 2022, membuat pasar-pasar tersebut tampak lebih menarik daripada Indonesia bagi investor asing
c. sebagian investor asing masih memiliki ganjalan atas KUHP baru Indonesia, yang sebagian pasal bisa dianggap melanggar privasi dari kacamata mereka; selain itu, adanya persepsi peningkatan ketidakpastian menjelang kampanye dan pemilu
d. sebagian investor jera atau kehabisan modal karena kerugian masif dari investasi crypto atau robot trading, dan menjauhi semua bentuk investasi sebagai respon yang tergeneralisasi.
3). Perlambatan pertumbuhan ekonomi hingga resesi yang dialami banyak negara. Hal itu dapat secara tidak langsung memengaruhi permintaan ekspor Indonesia. Meskipun relatif tinggi, pertumbuhan ekonomi Indonesia pun diprediksi akan mengalami moderasi: BI memprediksi 4,5-5,3% pada 2023, vs. 4,7-5,5% pada 2022; sedangkan IMF memprediksikan 5,0% di 2023 vs 5,3% di 2022.
Moderasi pertumbuhan dapat berarti absennya katalis baru untuk pasar modal.Moderasi permintaan ekspor atas produk Indonesia pun dapat menyebabkan berbagai perusahaan manufaktur di Indonesia mengalami kelebihan kapasitas produksi, yang dapat berujung pengurangan tenaga dan/atau jam kerja; dengan kata lain lanjutan gelombang pemutusan hubungan kerja.
Hindari ranjau resesi global
Dengan latar belakang makro ekonomi seperti di atas, kita mungkin tidak dapat berharap banyak kepada investor asing untuk menggerakkan pasar modal kita di 2023. Dalam berinvestasi, kita pun perlu menghindari sektor-sektor yang banyak mengandalkan ekspor karena dampak perlambatan ekonomi dan resesi di beberapa negara utama.
Dalam pemilihan investasi di pasar saham pun, kita perlu mewaspadai bahwa jurus yang biasanya manjur mungkin tidak akan berlaku di 2023. Sebagai contoh, jurus laggards will be winners, yaitu strategi investasi yang mengoleksi saham-saham yang jatuh terdalam tahun lalu, dengan harapan mereka akan naik lebih tinggi dibandingkan saham-saham yang berkinerja baik pada tahun lalu.
Jurus ini mungkin tidak akan manjur; sebaliknya, kita perlu menelaah latar belakang fundamental sektor dari saham-saham tersebut, karena beberapa sektor yang terpukul di 2022 masih memiliki resiko untuk melemah.
Sebagai gantinya, strategi investasi kita perlu fokus pada sektor-sektor yang digerakkan oleh permintaan domestik. Tema penting pada 2023 adalah persiapan kampanye politik menjelang Pemilu 2024, yang mana dapat secara tidak langsung membantu pembelanjaan publik sektor ritel.
Sektor konsumer ritel dan media diuntungkan, teknologi masih bergelut
a. Pembelanjaan domestik, yang diperkuat dengan efek domino dari belanja kampanye dapat memperkuat daya beli masyarakat untuk membeli barang-barang konsumer kebutuhan sehari-hari. Demikian pula dengan perusahaan media yang akan menikmati permintaan periklanan yang lebih tinggi dari biasanya. Dengan demikian, sektor konsumer ritel dan media dapat diunggulkan, dan layak untuk mendapat bobot overweight.
b. Namun, kenaikan daya beli masyarakat mungkin tidak akan sampai pada taraf barang berharga tinggi, seperti properti. Sektor properti seyogianya dapat menikmati kembalinya permintaan dengan pemulihan ekonomi yang dimulai dari 2022, namun kenaikan suku bunga KPR dapat menetralisir hal tersebut, bahkan menekan minat pembeli. Sektor ini cocok untuk diberikan bobot neutral.
c. Sektor perbankan sebagai sektor dengan kapitalisasi pasar terbesar di pasar modal umumnya bergerak sesuai siklus ekonomi. Pada semester I 2023, mayoritas perbankan masih dapat menikmati penggerak (driver) positif yang sudah dimulai dari 2022 seperti pertumbuhan kredit dan laba yang membaik.
Namun, dengan potensi moderasi pertumbuhan ekonomi di 2023, perbankan pada semester II 2023 dapat menunjukkan kinerja pertumbuhan kredit yang mendatar/flattish dan perlambatan pertumbuhan laba dibandingkan 2022. Kinerja saham perbankan juga biasanya sejalan dengan minat investor asing, yang mana tidak kita harapkan untuk kuat pada 2023. Sektor ini cocok untuk bobot tactical overweight pada semester I 2023 dan neutral pada semester II 2023.
d. Meskipun saham-saham teknologi telah turun banyak di 2022, namun sektor tersebut masih sangat mungkin untuk tetap bergelut di 2023. Banyak perusahaan startup teknologi menengah dan kecil mengalami tantangan arus kas karena investor-investor mereka menarik minat untuk menambah investasi.
Hal ini seiring dengan pengetatan moneter http://roketgubuk.com/ global yang menaikkan biaya modal, dan membuat investor semakin selektif untuk menambah investasi. Perusahaan-perusahaan teknologi besar mayoritas tidak memiliki masalah arus kas, namun valuasi mereka terus ditantang oleh pasar dan investor.
Selagi mereka belum dapat membuktikan strategi untuk mencetak laba secara berkesinambungan, investor akan terus mempertanyakan kelayakan mereka untuk mendapatkan valuasi premium dibandingkan perusahaan-perusahaan konvensional yang telah lama beroperasi. Sektor teknologi cocok dengan bobot underweight, sama seperti pembahasan kami pada artikel tahun lalu mengenai Strategi Investasi 2022.
e. Energi dan komoditas masih memegang peranan penting selagi perang di Ukraina masih berlangsung. Friksi geopolitik juga biasanya mendorong permintaan global terhadap energi karena negara-negara memupuk pencadangan untuk skenario terburuk. Sektor-sektor ini masih layak untuk bobot overweight, setelah sektor konsumer ritel.