Membaca Denyut Kencang Bisnis Terminal Peti Kemas Domestik

Pekerja melakukan pendataan bongkar muat kontainer peti kemas di Terminal 3 Tanjung Priok, Jakarta, Senin (22/11/2021). Pemulihan ekonomi global dari pandemi Covid - 19 dinilai lebih cepat dari yang diekspektasi banyak pihak. Sehingga produksi dan perdagangan melonjak signifikan yang membuat ketidakseimbangan pasar, yang berimbas pada kekurangan bahan baku dan kelangkaan kontainer.. (CNBC Indonesia/ Muhammad Tri Susilo) 

Foto: Aktivitas bongkar muat kontainer di Pelabuhan Tanjung Priok, Senin (22/11/2021). (CNBC Indonesia/Tri Susilo)

Sepertinya bisnis terminal peti kemas domestik berdenyut kencang di tengah lingkungan strategis yang tidak sepenuhnya favorable bagi sektor usaha kepelabuhanan. Saya merujuk kepada aksi korporasi yang dilakukan oleh PT Pelindo Terminal Petikemas (SPTP), anak usahanya operator pelabuhan pelat merah Pelindo. Dilaporkan oleh berbagai media, SPTP baru saja mengakuisisi saham PT Wijaya Karya dan PT Hutama Karya, masing-masing sebesar 15% senilai Rp 375,9 miliar, yang mereka tanam di PT Prima Terminal Petikemas (PTP). Perusahaan ini merupakan operator terminal peti kemas yang disebut Belawan New Container Terminal (BNCT), Sumatra Utara.

PTP adalah bagian dari Pelindo Group yang dibentuk pada 2013 dengan berkolaborasi bersama PT Wijaya Karya dan PT Hutama Karya. Masing-masing perusahaan memegang 15% saham PTP, sementara sisanya sebesar 70% dipegang oleh Pelindo. Pascamerger, saham ini selanjutnya di-inbreng-kan kepada PT Pelindo Terminal Petikemas.

Kebijakan buyback saham oleh perusahaan yang bermarkas di kota Surabaya itu di tengah kondisi bisnis kemaritiman yang relatif masih lesu darah – baik akibat melambatnya perekonomian dunia dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir dan gempuran pandemi Covid-19 selama hampir tiga tahun – mengindikasikan dua hal berikut ini: perusahaan punya uang yang besar dan ada target atau peluang bisnis besar yang diendus di masa depan. Makanya saya menggunakan diksi “denyut kencang” karena hanya aliran darah bisnis yang deraslah yang bisa mendorong keduanya.

Bagi mitra bisnis yang sebelumnya memegang saham PT Prima Terminal Petikemas, pengambilalihan saham oleh SPTP membuat mereka “pulang kampung”. Dan, fokus kepada bisnis intinya (core business) sebagai kontraktor. Usaha kepelabuhanan atau pengelolaan terminal apapun di sana sebetulnya terbuka luas bagi semua pengusaha. Hanya saja, sektor yang satu ini unik, berbeda cukup signifikan dengan sektor lainnya. Sehingga, perusahaan-perusahaan yang ingin terlibat harus memiliki expertise yang cukup; tidak cukup bermodalkan semangat semata. Apalagi modalnya hanya pas-pasan.

Bisnis kepelabuhanan/terminal itu butuh investasi besar yang jumlahnya bisa sampai triliunan. Last but not least, bisnis di sektor yang satu ini juga mensyaratkan adanya akses yang kuat ke pelaku usaha pelayaran karena mereka merupakan customer utamanya. Operator pelabuhan atau terminal haruslah mereka yang dipercaya oleh pelayaran. Dipercaya (reliable) kecepatan bongkar-muatnya, efisiensinya, biayanya dan lain sebagainya. Singkat cerita, bisnis kepelabuhanan/terminal itu barrier to entry-nya tidak bersifat regulasi, tarif dan yang sejenis lainnya. Cukup punya duit dan expertise.

Begitu terbukanya bisnis terminal peti kemas di Indonesia saat ini sampai-sampai muncul isu oversupply. Kondisi ini khususnya terjadi di Pulau Jawa. Dimulai dari Jakarta. Pelabuhan Tanjung Priok punya empat terminal peti kemas dengan total kapasitas mencapai 5.500.000 TEU. Perinciannya: JICT 2,5 juta TEU, TPK Koja 1 juta TEU, NPCT-1 1,5 juta TEU dan Mustika Alam Lestari 300.000 TEU. Semua fasilitas ini melayani hanya peti kemas internasional. Adapun peti kemas domestik dilayani di terminal lain yang dikelola cucu usaha Pelindo, PT IPC Terminal Petikemas.

Lalu, di Semarang, Jawa Tengah. Di kota ini terdapat TPK Semarang yang kapasitasnya sekitar 911.000 TEU. Bergeser sedikit lebih ke timur, tepatnya di kota Surabaya, terdapat Terminal Peti Kemas Surabaya (TPS Surabaya) yang berada di dalam area Pelabuhan Tanjung Perak dengan kapasitas kurang lebih 1.639.000 TEU.

Di samping TPS Surabaya, di Pelabuhan Tanjung Perak juga terdapat terminal peti kemas lain seperti TPK Nilam yang berkapasitas mencapai 443.000 TEU dan Terminal Berlian dengan kapasitas sekitar 1.305.000 TEU.

Di luar area Pelabuhan Tanjung Perak, ada terminal peti kemas lain, yaitu Terminal Teluk Lamong dengan kapasitas kurang lebih 1.187.000 TEU. Saat ini, dengan menggandeng PT Aneka Kimia Raya (AKR), Pelindo sedang mengembangkan Java Integrated Industrial Port Estate atau JIIPE yang di dalamnya bakal ada fasilitas pelabuhan/terminal, termasuk terminal kontainer. Sayangnya, tak jelas berapa kapasitas bakal terminal ini.

Grup Maspion tidak tinggal diam meramaikan bisnis terminal peti kemas di Jawa Timur. http://terserah.com/ Disaksikan oleh Presiden Joko Widodo di Istana Bogor sekitar dua tahun lalu, Alim Markus, CEO Grup Maspion, akan menambah kapasitas pelayanan kontainer di Indonesia hingga 3 juta TEU. Sang taipan menggandeng Dubai Port World (DP World) bersinergi mengembangkan terminal peti kemas yang terdapat di kawasan industri miliknya di Manyar, Gresik. Kabarnya rencana ini batal. Terakhir, pelabuhan Patimban di Subang, Jawa Barat, juga akan mengoperasikan terminal peti kemas dengan kapasitas terpasang 3 juta TEU.

Di luar fasilitas milik non-Pelindo di atas, terminal peti kemas kelolaan Pelindo itu (sekitar 15 terminal) kini berada di bawah manajemen SPTP. Pascamerger jumlah menjadi 27 terminal dengan tambahan TPK Belawan, TPK Perawang, TPK Semarang, TPK Nilam (Surabaya), TPK Banjarmasin. Selanjutnya TPK Tarakan, TPK Pantoloan, TPK Bitung, TPK Kendari, Makassar New Port, TPK Makassar, TPK Kupang, TPK Ambon, TPK Sorong dan TPK Jayapura.

Melihat terminal peti kemas sebanyak itu, jelas denyut bisnis sektor ini akan makin kencang. Semoga.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*